Senin, 12 Desember 2016

ILOMU FIQIH: SHALAT SUNNAH



SHALAT SUNNAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Abu Rokhmat, MA









Disusun oleh :
Ahmad Ali As’adi                  (1501046003)
Ainis Shofwah Mufarriha       (1501046031)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Dalam Islam, shalat menempati bagian terpenting dalam kehidupan seorang muslim sebagai perjalanan spiritual menuju Allah SWT yang dilakukan pada waktu dan syarat tertentu setiap harinya. Dalam shalat, semua beban, kesibukan dan tuntutan duniawi dilepaskan sejenak. Konsentrasi sepenuhnya untuk bermunajat, memohon petunjuk-Nya serta mengharapkan pertolongan dan kekuatan dari-Nya. Shalat mencakup berbagai macam ibadah, seperti dzikir, merendahkan diri dihadapan Allah, shalawat, dan lain-lain.
Bahwa Allah telah mensyari’atkan kepada manusia untuk merendahkan diri kepada-Nya dengan shalat-shalat sunnah, disamping shalat fardhu. Melaksanakan shalat sunnah termasuk salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah serta jihad dan menuntut ilmu. Nabi Muhammad-pun senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat sunnah.
Yang dimaksud shalat sunnah (juga bisa disebut shalat tathawwu’, shalat nafilah, atau nawafil) adalah shalat-shalat yang dikerjakan dalam rentang waktu sehari semalam sebagai pengiring shalat fardhu. Dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Abu Dawud disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyari’atkan agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat fardhu.
Sebagaimana kita ketahui, shalat sunnah tidak hanya terdiri dari beberapa saja, namun begitu banyak shalat sunnah yang bisa kita lakukan menurut keyakinan dan madzhab yang kita anut. Karena banyaknya perbedaan diantaranya, kami tertarik untyuk mengulas hal tersebut dalam makalah ini yang nantinya akan kami jabarkan pada bab pembahasan. Mulai dari pengertian dan dasar shalat sunnah, macam-macam shlata sunnah, serta tata cara pelaksanaannya.
2.      Rumusan Masalah

1.       Bagaimana pengertian shalat sunnah?
2.       Apa saja macam-macam shalat sunnah dan bagaimana tata cara pelaksanannya menurut para ulama?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Shalat Sunnah
Yang dimaksud shalat sunnah (juga bisa disebut shalat tathawwu’, shalat nafilah, atau nawafil) adalah shalat-shalat yang dikerjakan dalam rentang waktu sehari semalam sebagai pengiring shalat fardhu. Dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Abu Dawud disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyari’atkan agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat fardhu.
Shalat sunnah sendiri terdiri dari dua macam:
Pertama, shalat-shalat sunnah yang dibatasi dengan waktu-waktu tertentu. Shalat-shalat sunnah ini biasa disebut dengan Shalat Sunnah Muqayyadah. Seperti shalat sunnah tahajjud, witir, dll.
Kedua, shalat-shalat sunnah yang tidak dibatasi dengan waktu-waktu tertentu. Shalat-shalat sunnah ini biasa disebut dengan Shalat Sunnah Muthlaqah. Seperti shalat sunnah mutlaq.
Anjuran shalat sunnah antara lain terdapat dalam hadist dari Rabi’an bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada saya dengan sabdanya: “Bermohonlah,” maka saya menjawab: Saya mohon kepadamu agar dapat menemanimu di syurga. Kemudian beliau bersabda: Adakah selain itu? Saya menjawab: Ya Cuma itu. Beliau bersabda: Maka bantulah saya agar berhasil permohonanmu itu dengan membanyakkan sujud (shalat sunnah). HR Muslim dari Rabi’ah bin Malik. Rasulullah juga menganjutrkan agar mengerjakan shalat sunnah dirumah saja. Karena sebaik-baik shalat adalah yang dikerjakan dirumah saja kecuali shalat fardlu.
B.     Shalat Sunnah Dan Tata Cara Pelaksanaannya
Diantara shalat-shalat sunnah yang biasa dikerjakan adalah:
1.      Shalat Sunnah Rawatib
Shalat sunnah rawatib merupakan shalat sunnah yang mengiringi lima shalat fardlu. Dikerjakan sebelum shalat fardlu (qabliyah) atau sesudahnya (ba’diyyah). Para ulama umumnya membagi shalat sunnah ini menjadi dua bagian. Yaitu shalat sunnah muakkadah dan ghairu muakkadah. Disebut shalat sunnah muakkadah karena level kesunnahannya lebih tinggi dibanding shalat sunnah ghairu muakkadah. Hal ini dikaitkan dengan praktek Rasulullah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan itu, setidaknya beliau lebih sering melakukannya daripada meninggalkannya. [1]
a.       Shalat Sunnah Rawatib Muakkadah (Yang dianjurkan)
Mengenai jumlah rakaat shalat rawatib yang muakkadah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat sunnah rawatib yang muakkadah adalah sepuluh rakaat, baik qabliyah ataupun ba’diyyah. Jumlah ini disandarkan pada hadist shahih berikut ini: Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Aku memelihara dari Nabi SAW sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah maghrib di umah beliau, dua rakaat sesudah isya di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum subuh. Dua rakaat sebelum subuh itu termasuk eaktu-waktu dimana Rasulullah tidak ditemui, namun Hafsah r.a. menyebutkan padaku bahwa bila muadzin mengumandangkan adzan saat terbit fajar, beliau shalat dua rakaat.” (HR Bukhari). Kemudian, Asy-Syafi’i juga menambahkan lagi empat rakaat sebelum shalat ashar. [2]
Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan jumlahnya adalah dua belas rakaat. Kedua belas rakaat itu sama dengan versi sepuluh rakaat, kecuali qabliyah dzuhur dalam versi Hanafiyah bukan dua rakaat, tapi empat rakaat yang dikerjakan langsung empat rakaat dengan satu salam tanpa tahiyat awal. Hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Dari Aisyah dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda “Orang yang selalu menjaga dua belas rakaat makan Allah akan bangunkan rumah untuknya di dalam syurga. Empat rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib di rumah beliau, dua rakaat sesudah isya di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi) [3]
b.      Shalat Sunnah Rawatib Ghairu Muakkadah (Yang kurang dianjurkan)
Shalat sunnah ghairu muakkad adalah shalat yang biasa didirikan Nabi Muhammad SAW tetapi beliau tidak menganjurkan sebagaimana pada sunah muakkad. Menurut pendapat yang paling banyak, shalat ghairu muakkadah terdiri dari:
1.      Dua rakaat sebelum shalat dhuhur dan dua rakaat sesudahnya. Mengapa demikian, karena ini beriringan dengan shlat sunnah muakkadnya. Jadi, shalat sunnah dhuhur yaitu empat rakaat sebelumnya dan empat rakaat sesudahnya: dua rakaat termasuk muakkad, dan dua rakaat lagi ghairu muakkad.
2.      Empat rakaat sebelum ashar
3.      Dua rakaat sebelum maghrib
4.      Dua rakaat sebelum isya’


2.      Shalat Witir
Witr (atau witir) menurut bahasa ialah bilangan gasal atau ganjil. Jadi, shalat witir adalah shalat ganjil (satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, sembilan rakaat, atau sebelas rakaat) sekurang-kurangnya satu rakaat dan sebanyak-banyaknya sebelas rakaat. Boleh memberi salam tiap dua rakaat, boleh dilakukan satu atau tiga rakaat, dan boleh pula mengerjakannya sekaligus dengan satu kali tasyahud dan salam pada rakaat terakhir.[4]
Sedangkan waktu untuk mengerjakannya adalah antara setelah shalat isya’ sampai dengan terbit fajar berdasarkan sabda Rasululah : “Shalat witir adalah antara (setelah) shalat isya’ sampai dengan terbit fajar.” HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dari Kharijah bin Judzafah.
Mengenai jumlah rakaatnya, At-Tirmidzi menyebutkan bahwa: “ Diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau shalat witir dengan tigabelas, sebelas, sembilan, tujuh, lima, tiga dan satu rakaat.” Ishaq bin Ibrahim menerangkan bahwa yang dimaksud dengan tiga belas rakaat adalah Nabi shalat lail sebanyak tiga belas rakaat termasuk witirnya.[5]
Jumlah minimal rakaat yang sempurna menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali adalah tiga rakaat. Imam Hanafi berpendapat bahwa shalat witir terdiri dari tiga rakaat dengan tiga salam, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Sedangkan menurut Imam Maliki, shalat witir adalah satu rakaat, yang diawali shalat genap yang terpisah. Tidak ada batasan bagi shalat genap itu, tetapi minimal adalah dua rakaat.[6]
Apabila seseorang telah shalat witir, lalu ia shalat tahajjud, maka ia tidak perlu mengulangi shalat wiridnya. Demikian pendapat Imam Syafi’i yang paling sahih dan pendapat Imam Hanafi. Sedangkan Imam Hambali mengatakan bahwa, hendaknya hendaknya witirnya digenapkan terlebih dahulu, lalu bertahajjud, kemudian shalat witir satu rakaat supaya bilangan rakaatnya menjadi ganjil.
Sedangkan surah yang dibaca dalam shalat witir (setelah surah Al-Fatihah), menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’i adalah surah al-Ikhlas, al-Mu’amridzatain (al-Falaq dan an-Nas). Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Hambali surat al-Ikhlas saja.
Mengenai pembacaan doa qunut dalam shalat witir, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut Imam Syafi’i dan Maliki, membaca doa qunut pada shalat witir hanya setelah pertengahan bulan Ramadhan sampai habis bulan Ramadhan tersebut. Imam Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa membaca doa qunut setelah ruku’ pada rakaat terakhir setiap shalat witir.[7]
3.      Shalat Sunnah Tarawih
Tarawih (kata tunggalnya tarawihah) menurut bahasa berarti istirahat. Di sini berarti istirahat setiap empat rakaat shalat sunnah tarawih di bulan Ramadhan disebabkan panjangnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca pada saat itu. Awalnya, istilah yang digunakan dalam hadist-hadist adalah qiyam Ramadhan, sedangkan kata tarawih baru digunakan sejak masa Ummar bin Khattab menjabat sebagai Khalifah.
Mengenai jumlah rakaat dalam shalat tarawih, sebagian ulama menganjurkan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir, seperti kebiasaan Nabi Muhammad. Telah dirawikan oleh Bukhari Muslim dari Aisyah r.a, bahwa Nabi Muhammad tidak pernah shalat sunnah malam hari  melebihi sebelas rakaat, baik di bulan Ramadhan ataupun bulan-bulan lainnya sepanjang tahun.
Telah diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa pada masa Umar, Utsman, dan Ali, kaum Muslim melaksanakan shalat tarawih sebanyak duapuluh rakaat dengan sepuluh salam ditambah shalat witir tiga rakaat. Dan jumlah itulah yang disetujui oleh mayoritas para ahli Fiqih dari kalangan madzhab Hanafi, Hambali, Syafi’i, Daud, Ats-Tsauri, dan lain-lain. Sedangkan menurut Imam Maliki, shalat tarawih terdiri dari tiga puluh rakaat.[8]
Sedangkan pelaksanannya, shalat sunnah tarawih dilaksanakan setelah mengerjakan shalat isya’, boleh dilaksanakan berjamaah  maupun sendiri-sendiri, di masjid ataupun dirumah. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tarawih berjamaah di masjid lebih afdhal, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa shalat sendiri lebih afdhal mengingat Nabi Muhammad melaksanakan shalat sunnah tarawih dirumah pada malam ketiga atau keempat dan seterusnya.
Menurut hadist dari Aisyah r.a. yang menerangkan bahwa: “Bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam shalat tarawih di masjid, lalu diikuti oleh orang banyak. Kemudian beliau melakukan pula shalat itu di malam selanjutnya dan semakin bertambah orang-ornag yang mengikutinya. Kemudian setelah mereka berkumpul pada malam ketiga  atau keempat, maka Rasulullah sengaja tidak datang kepada mereka. Pada pagi harinya beliau bersabda: Saya lihat apa yang kamu lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangi saya untuk datang kepadamu, kecuali karena saya takut akan difardlukan shalat tarawih ini kepadamu.” HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah.
Menurut pendapat dari Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, serta jumhur ‘ulama, melaksanakan shalat sunnah tarawih secara berjamaah di masjid  lebih utama.[9] Mengingat apabila dilaksanakan di rumah, seandainya timbul rasa malas dikhawatirkan masjid menjadi kosong. Adapun ulama lain yang lebih mengutamakan berjamaah di masjid adalah karena didasarkan tindakan yang dilakukan oleh Ummar bin Khattab yang pertama kali mengumpulkan orang-orang di masjid dengan mengerjakan shalat tarawih dibelakang seorang imam. Hal ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya.[10]
4.      Shalat Sunnah Hari Raya (‘Idain)
Yang termasuk shalat ‘idain adalah shalat hari raya idul fitri dan shalat sunnah hari raya idul adha. Shalat sunnah idul fitri dikerjakan setiap tanggal 1 Syawal, sedangkan shalat sunnah idul adha dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijah. Hukum shalat sunnah hari raya ini adalah sunat muakkad (sunat yang lebih penting) yakni yang dianjurkan dengan sangat karena Nabi Muhammad selalu melaksanakannya secara rutin dan memerintahkan kaumnya baik laki-laki maupun wanita untuk menghadirinya.
Mula-mula Rasulullah SAW ahalat hari raya pada tahun kedua (tahun Hijriah) dan tetap melaksanakan shalat hari raya selama beliau hidup. Waktu pelaksanaannya yaitu semenjak terbitnya matahari hingga dimulainya waktu shalat dzuhur. Disunnahkan mengundurkan sedikit waktu shalat Idul Fitri untuk lebih memberi kesempatan membagi zakar fitrah, dan menyegerakan shalat idul adha agar yang ber-imsak atau berpuasa sebentar dipagi itu lebih cepat berbuka, serta memberikan kesempatan untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.
Untuk waktu pekasanaannya, dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa: “ Nabi SAW shalat bersama-sama kami pada hari raya idul fitri ketika matahari setinggi dua lembing dan pada hari idul adha ketika matahari setinggi satu lembing.” HR Ahmad bin Hasan Banna dari Jundub. Rasululah juga tidak melaksanakan shalat sebelum dan sesudah shalat sunnah hari raya.
Mengenai tempat pelaksanaannya, menurut Imam Syafi’i, shalat sunnah hari raya lebih utama dilakukan di masjid apabila masjid dapat menampung seluruh jamaah (seperti Masjidil Haram di Makkah). Hal ini dapat dijadikan patokan apabila tidak hujan ataupun jarak tanah lapang terlalu jauh. Menurut Imam Maliki, shalat sunnah ‘Idain lebih utama dikerjakan di tanah lapang selagi tidak hujan dan jaraknya memungkinkan. Diterangkan oleh Syyiq Sabiq bahwa khusus untuk kota Makkah, mengerjakannya di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Semua orang dianjurkan untuk berkumpul dan shalat pada hari raya. Baik orang yang mukim ataupun yang dalam perjalanan, baik laki-laki ataupun perempuan, besar atau kecil, hingga perempuan yang berhalangan karena haid pun disuruh pergi untuk berkumpul dan mendengarkan khutbah tetapi mereka tidak boleh shalat. Mereka berjamaah bersama dan boleh pula dilaksanakan sendirian.
Pada shalat sunnah hari raya, tidak di syari’atkan untuk adzan dan tidak pula iqamah. Rasulullah SAW menyuruh muadzin untuk menyerukan “Asshalaata jaami’ah” (marilah shalat berjamaah). Kepada khatib yang bertugas, dianjurkan untuk memperbanyak takbir disela-sela khutbahnya.[11]
Apabila hari raya tersebut jatuh pada hari Jum’at, gugurlah kewajiban untuk shalat Jum’at sesuai hadist dari Abu Hurairah. Namun dalam kitab “Fiqhus Sunnah” diterangkan bahwa bagi imam disunatkan tetap melaksanakan shalat Jum’at agar dapat diikuti oleh orang yang pada pagi harinya tidak mengikuti shalat sunnah hari raya.
Rukun dan syarat sah shalatnya sama dengan shalat pada umumnya. Pada rakaat pertama, setelah takbiratul ihram, dan membaca doa iftitah, disunatkan takbir tujuh kali, kemudian AL-Fatihah  dan membaca surah Qaaf. Pada rakaat yang kedua, setelah intiqal, disunatkan takbir lima kali, kemudian AL-Fatihah dan membaca surah Iqtarabat / Al-Qamar. Begitulah menurut riwayat Imam Muslim.[12]
Dalam hadist dari ‘Amr bin Auf Al Muzani: “Bahwa Nabi SAW bertakbir pada shalat ‘idain: pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca surah Al-Fatihah, dan pada rakaat yang kedua lima kali sebelum membaca surah Al-Fatihah.” HR Tirmidzi dari ‘Amr bin Auf Al Muzani. Dan tak lupa melakukan khutbah setelah selesai shalat. Apabila imam berkhutbah sebelum shalat dimulai, maka dianggap tidak sah menurut qaul yang benar yang dinash oleh Imam Syafi’i.
Dalam hari raya, disunatkan agar mengumandangkan takbir. Adapun waktunya menurut Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur, sahabat, tabi’in, takbir hari raya idul fitri dilaksanakan mulai dari keluar untuk shalat id sampai dimulainya khutbah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, muali dari semenjak terbenam matahari pada malam hari raya sampai akan dimulai shalat. Sedangkan waktu takbir pada hari raya idul fitri menurut Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan Sufyan Ats Tsauri, mulai dari shalat subuh pada hari Arafah hingga shalat Ashar pada hari terakhir tasyriq. Menurut Imam Malik serta Imam Syafi’i, mulai dari shalat dhuhur pada hari raya idul adha sampai dengan shalat subuh pada hari terakhir tasyriq.[13]
5.      Shalat Sunnah Gerhana (Kusuf dan Khusuf)
Shalat gerhana dua rakaat pada saat terjadinya gerhana bulan (shalat sunnah khusuf) ataupun gerhana matahari (shalat sunnah kusuf) adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Hal ini bukanlah sebagai ritual pemujaan terhadap bulan ataupun matahari. Melainkan bersujud kepada Allah yang telah menciptakan jagat raya.
Sewaktu Ibrahim putra Rasulullah dari Mariah Alqibtiyah meninggal, terjadi gerhana matahari. Maka orang-orang berkata, “Gerhana matahari terjadi karena matinya Ibrahim.” Rasulullah SAW menjawab perkataan yang demikian, agar jangan sampai mereka salah paham. Bahwa sesungguhnya matahari dan bulan, keduanya menjadi tanda kebesaran dari dalil-dalil Allah dan kekuasaan-Nya. Maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga gerhana itu lenyap.[14]
Yang lebih afdhal adalah melaksanakannya dengan berjamaah, walupun boleh juga secara sendirian. Pada waktu shalat akan dimulai, imam menyerukan “Asshaalatu jaami’ah”sebagai ganti iqamat. Menurut Jumhur ‘Ulama, pada masing-masing rakaat dilakukan ruku’ dua kali. Jelasnya, setelah dibaca surah Al-Fatihah dan surah atau ayat Al-Qur’an, kemudian ruku’. Kemudian berdiri lagi membaca surah Al-Fatihah dan surat atau ayat Al-Qur’an kemudian ruku’ lagi. Kemudian i’tidal lalu sujud sebagaimana dalam shalat yang lain. Dan dilakukan seperti itu pada rakaat kedua.
Jadi, shalat gerhana adalah dua rakaat, empat kali ruku’, empat kali berdiri membaca Al-Fatihah, dan empat kali sujud. Setelah itu, imam berkhutbah agar mengingatkan manusia atas kekuasaan Allah yang telah menciptakan seluruh alam juga agar memperbanyak doa, dzikir, istighfar, sedekah, dan amal-amal yang lain.
6.      Shalat Sunnah Istisqa’

Shalat sunnah istisqa’ adalah shalat dua rakaat yang dilakukan karena terjadi kemarau panjang, memohon kepada Allah agar segera diturunkan hujan. Dalil AL-Qur’an yang dijadikan rujukan adalah firman Allah dalam surah Nuh ayat 10-12.
Apabila datang musim kemarau yang berkepanjangan, disunnahkan memperbanyak doa dan istighfar. Salah satunya adalah melalui shalat. Menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali, disunahkan dengan shalat dan doa. Namun menurut Imam Hanafi, disunahkan berdoa tanpa shalat. Di kalangan Syafi’iyah, ada juga yang mengatakan bahwa shalat istisqa’ hukumnya adalah fardhu kifayah.
Mengambil pendapat yang lebih banyak, makan shalat istisqa’ pun dilaksanakan. Hal ini juga pernah Nabi laksanakan sewaktu orang-orang mengadu kepada Rasulullah tentang kemarau, kemudian beliau memrintahkan agar menyiapkan mimbar dan tanah lapang. Beliau keluar ketika matahari mulai nampak, beliau duduk diatas mimbar kemudian bertakbir dan memuji Allah.
Shalat istisqa’ dilaksanakan kapanpun selain waktu yang dilarang mengerjakan shalat. Namun, shalat istisqa’ disunnahkan dilaksanakan pada awal siang di waktu pelaksanaan shalat id. Shalat istisqa’ juga sunnah dilaksanakan di tanah lapang agar dapat menampung masa yang banyak.
Pelaksanaan shalat istisqa’, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah adalah seperti shalat hari raya yaitu tujuh kali takbir pada rakaat pertaman dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Sedangkan menurut Malikiyah, takbir dalam shalat sunnah istisqa’ adalah sebagaimana shalat sunnah pada umumnya, tidak ada tambahan takbir seperti Syafi’iyah dan Hanabilah. Shalat istisqa’ sunah dikerjakan dengan jahr atau mengeraskan suara bacaan.
Sedangkan pelaksanaan khutbah dilaksanakan setelah pelaksanaan shalat istisqa’. Namun Syafi’iyah juga membolehkan khutbah sebelum shalat istisqa’. Khutbah dalam shalat istisqa’ adalah dua kali khutbah. Demikian menurut Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Hanabilah, khutbah dalam shalat istisqa’ hanya sekali.

7.      Shalat Tahajjud (Qiyamul Lail)
Shalat tahajjud sering juga disebut shalat malam. Mengapa demikian, karena waktu pelaksanaannya adalah pada malam hari dimana kebanyakan orang sedang terlelap tidur. Sepanjang hidup Rasulullah SAW, beliau tidak pernah meninggalkan shalat tahajjudnya. Bahkan ketika beliau ketiduran atau sedang sakit, beliau mengganti tahajjudnya pada siang hari. “Jika beliau ketiduran atau sedang sakit sehingga tidak dapat melakukannya (shalat malam) di malam hari, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat.”
Kebiasaan Nabi adalah sering melaksanakan shalat sebelas rakaat shalat malam. Bahkan mewajibkan bagi diri beliau sendiri. Apabila beliau berhalangan, diganti pada siang hari dengan menambah satu rakaat agar menggenapkannya, karena siang bukanlah letak witir. Atas dasar inilah, banyak ulama yang mewajibkan shalat tahajjud. Antara lain Abdullah bin Al-Abbas r.a., di lingkungan madzhab Asy-Syafi’iah juga ikut sepakat dengan pendapat Ibnu Abbas ini dan tidak sedikit dari ulama kalangan Malikiyah yang berpendapat sama.
Ketika Nabi ditanya mengenai mengenai shalat yang lebih utama selain shalat fardlu, beliau menyebutkan bahwa yang lebih utama adalah shalat tahajjud.
Dari Abu Hurairah r.a., “Tatkala Nabi SAW ditanya orang, ‘Apakah shalat yang lebih utama dari shalat fardlu yang lima”’ Jawab beliau, ‘Shalat pada waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim) kemudian dipertegas Allah dalam surah Al-Isra ayat 79 yang artinya “Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” [15]
Mengenai pelaksanaaan tahajjud, pendapat yang memakruhkan shalat tahajjud berjamaah adalah dari kalangan Hanafiyah san Syafi’iyah. Menurut mereka, disunnahkan melaksanakan sendiri-sendiri karena Rasul pernah berjamaah dan pernah mengerjakannya sendiri. Mereka memkruhkan karena menurut mereka, Rasulullah lebih sering shalat tahajjud sendirian daripada berjamaah. Sedangkan  Ulama dari Hanabilah membolehkan berjamaah dan membolehkan juga shalat sendiri-sendiri. Menurut Malikiyah, bila jamaah shalat tahajjud tidak terlalu banyak dan bukan ditempat masyhur, hukumnya boleh.
Untuk waktu melaksanakannya adalah sebagaimana melaksanakan shalat witir yaitu setelah isya sampai terbit fajar. Dianjurkan untuk tidur terlebih dahulu. Sedangkan waktu yang utama adalah pada sepertiga malam yang terakhir, mengingat sabda Rasulullah:
“Tuhan Azza wa Jalla turun ke langit dunia setiap malam ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu Allah berfirman: Barang siapa yang berdoa kepada-Ku pasti ku kabulkan; barang siapa yang memohon  kepada-Ku pasti Ku-berikan; barang siapa yang mohon ampun kepada-Ku pasti Ku-ampuni.” HR Al-Jama’ah dari Abu Hurairah.
Jumhur ulama, seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, Ibnul Mundzir, berpendapat bahwa shalat tahajjud itu dua rakaat dua rakaat yaitu harus salam pada setiap dua rakaat.
8.      Shalat Tahiyyat Al-Masjid
Shalat tahiyatul masjid disyari’atkan oleh pada setiap saat, ketika seseorang masuk masjid dan bermaksud duduk didalamnya. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Mayoritas ulama mengatakan bahwa shalat ini sunnah, namun ada juga yang mengatakan bahwa ini wajib. Menurut ulama Hanafiyah, shalat ini dilaksanakan selain pada waktu yang dimakruhkan untuk shalat.
Shalat tahiyatul masjid adalah shalat sunah dua rakaat sebelum masuk masjid bagi setiap orang. Nabi bersabda “Apabila seorang dari kamu masuk masjid, hendaklah ia shalat dua rakaat sebelum duduk.” [16]
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa ber-tahiyatul masjid hanya berlaku sepanjang mereka yang masuk masjid belum duduk. Apabila mereka sudah duduk, maka gugurlah sunnah tersebut. Namun apabila ia masuk masjid dan lupa atau belum mengerjakan shalat tahiyatul masjid, maka ia tetap disyari’atkan melaksanakannya, karena orang yang di beri uzur (lupa atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan asalkan jarak waktu duduk dengan ingatnya ia tidak lama.
Demikian pula sunnah ini tidak berlaku di Masjidil Haram, karena yang disunnahkan adalah berthawaf disekitar Ka’bah, bukan bertahiyatul masjid. Selain itu, apabila seseorang memasuki masjid bertepatan dengan dimulainya shalat fardhu berjamaah, maka ia harus segera mengikuti jamaah. Dikecualikan pula bagi khotib, imam dan pengurus masjid untuk tidak melakukannya. [17]
9.      Shalat Dhuha
Shalat sunnah dhuha adalah shalat yang dikerjakan pada waktu dhuha yang termasuk sunnah muakkadah.
Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Kekasihku (Rasulullah SAW) telah berpesan kepadaku tiga macam pesan: 1. Berpuasa tiga hari setiap bulan. 2. Shalat dhuha dua rakaat dan 3. Shalat witir sebelum tidur.” (HR Bukhari Muslim)
Waktu pelaksanaannya yaitu ketika matahari setinggi tombak (180), tapi disunnahkan ketika matahari sudah agak tinggi atau sudah terasa panasnya dan berakhir pada saat matahari tepat diatas langit atau sudah mulai masuknya shalat dhuhur. Rasulullah bersabda “Shalat awwabin (dluha), yaitu apabila anak-anak unta mulai kepanasan.” (HR Ahmad dan Muslim dari Zaid bin Arqam)
Shalat dluha dilakukan dalam dua rakaat satu kali salam. Mengenai jumlah total rakaatnya, ada perbedaan dikalangan ulama ulama. Pertama, pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, bahwa jumlah maksimalnya adalah delapan rakaat yang didasarkan hadis Umi Hani’ r.a. bahwasannya beliau memasuki rumahnya ketika fathu Makkah dan beliau shalat delapan rakaat. Kedua, menurut pendapat madzhab Hanafi rakaat maksimal adalah duabelas rakaat yang didasarkan pada hadis dhaif “Barangsiapa yang shalat dhuha duabelas rakaat, Allah buatkan baginya satu istana di syurga.” Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah dan AL-Mundziri. Ketiga, tidak ada batasa maksimal menurut As-Suyuthi dalam Al-Hawi.
10.  Shalat Istikharah
Yang dimaksud dengan istikharah adalah memohon dari Allah SWT agar dipilihkan sesuatu yang terbaik bagi seseorang, diantara berbagai pilihan yang menimbulkan keraguan, apakah sebaiknya dilakukan atau tidak. Misalnya ingin menikahi seseorang, ingin membuka perusahaan baru, atau ingin membeli rumah, dan sebagainya.
Untuk menghilangkan keraguan seperti itu, lalu mengambil suatu keputusan yang mudah-mudahan paling tepat, dianjurkan shalat dua rakaat, sebaiknya dimalam hari agar lebih tenang dan lebih konsentrasi, tapi boleh juga disiang hari dan boelh membaca surah apapun setelah surah Al-Fatihah.
Setelah melaksanakan shalat sunnah dua rakaat, hendaknya mulai berdoa dengan mengucapkan pujian-pujian kepada Allah dan bershalawat untuk Nabi Muhammad kemudian berdoa agar dipilihkan baginya seseuatu yang terbaik bagi kehidupan agama dan dunianya dimasa yang akan datang.[18]
Adapun ketika setelah shalat sunnah dua rakaat tersebut belum dimantapkan hatinya atas keputusan finalnya, maka hendaknya dilakukan hingga tujuh kali sesuai yang diriwayatkan Ibnu Sunni.[19]
Adapun doa yang diajarkan Nabi kepada para sahabat ialah sebagai berikut:
“Ya Allah aku memohon dari-Mu pilihan yang baik, dengan ilmu-Mu, dan memohon dari-Mu kemapuan, dengan kuasa-Mu. Dan aku memohon dari karunia-Mu yang agung. Karena Engakau-lah yang kuasa. Engkau mengetahui, sedangkab aku tidak mengetahui. Dan Engkau-lah yang Maha Mengetahui apa saja yang tersembunyi.”
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata: setelah shalat istikharah dan berdoa lakukanlah yang sesuai dan mantap dengan hatimu, maka disitulah kebaikan dibuka. Namun, sudah menjadi kebiasaan dan tradisi di Indonesia bahwa penentuan keputusan akhir dari shalat istikharah adalah melalui mimpi. Pandangan dan kebiasaan ini kurang tepat, mengingat mimpi itu datangnya dari tiga kemungkinan: 1. Dari Allah. 2. Dari setan. Dan yang terakhir 3. Dari diri sendiri.
Berdasarkan terangan diatas, ulama salaf juga berpendapat bahwa keputusan final setelah shalat istikharah hendaknya dilakukan sesuai dengan kelapangan hati dan pandangan serta analisis yang tulus. Dua hal ini hanya dapat dilakukan pada saat sadar (bangun) bukan saat tidur.[20]
11.  Shalat Tasbih
Mayoritas ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa shalat tasbih ini sunat dikerjakan. Tidak ada ketentuan khusus kapan dan sebab dilaksanakan, asalkan tidak dikerjakan pada waktu yang dilarang shalat.
Shakat tasbih bopelk dilaksanakan kapan saja, karena tidak ada waktu yang mengatur untuk shalat tasbih. Shalat tasbih ini bisa dilaksanakan sekali dalam sehari semalam. Jika tidak mampu, maka usahakan sekali dalam seminggu, atau pas hari jum’at, atau sebulan sekali, atau sekali seumur hidup.
Shalat tasbih jumlahnya empat rakaat, tiap rakaat membaca Al-Fatihah  dan surah lain dengan satu atau dua salam. Dalam shalat itu membaca tasbih sebanyak tigaratus kali. Tigaratus dibagi empat samadengan tujuh puluh lima kali dalam satu rakaat. Jika dirincikan: setelah iftitah sebanyak lima belas kali. Kemudian setelah membaca surah, dalam ruku’, bangkit dari ruku’, dalam dua sujud, dan dalam duduk antara dua sujud masing-masing sepuluh kali.
Bacaan tasbihnya dibaca setelah bacaan sujud dan ruku’. Tata cara shalat tasbih ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam kitabnya dari Abdullah Ibnul Mubarrok, salah seorang murid Abu Hanifah. Riwayat hadis ini yang dipilih dari dua riwayat yang ada. Bacaan tasbihnya tidak dihitung dengan jari, dan bagusnya dihitung dengan hati.[21]
12.  Shalat Hajat
Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan oleh seorang muslim saat memiliki hajat tertentu dan ingin dikabulkan. Bahwa setiap keinginan yang ada pada diri manusia, hendaknya melaksanakan shalat Shalat hajat juga dicontohkan Rasulullah SAW sehingga dasar sunnah dan penganjurannya pun memiliki kekuatan yang disepakati oleh para ulama.
Telah diriwayatkan oleh Ahmad , dengan sanad shahih bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Barangsiapa berwudhu seraya menyempurnakan wudhunya itu, lalu shalat dua rakaat yang juga dilaksanaknnya dengan sempurna (yakni dengan Khusyu’ dan memenuhi rukun), niscaya Allah akan memenuhi permintaannya secara segera ataupun diwaktu lainnya.”
Keempat ulama mensyari’atkan dan mensunnahkan pelaksanaaan shalat hajat.
-          Madzhab Maliki dalam kitab Hasyiah
-          Madzhab Hanafi dalam kitab Al-Bahr ar-Ra’iq
-          Madzhab Syafi’i dalam kitab Al-Majmuk syarh al-Muhadzab
-          Madzab hambali dalam Kasyfaul Qina [22]
Syarat pelaksanaannya adalah sam seperti shalat sunnah pada umumnya yaitu suci dari hadas dan memenuhi rukun shalat. Setelah melaksanakan shalat sunnah dua rakaat ini, mintalah kepada Allah apa yang menjadi hajat atau keinginan yang dikehendaki baik yang berkaitan dengan duniawi atau ukhrawi.
Pelaksanaannya juga tidak terikat waktu, jadi dapat dilaksanakan kapan saja asalkan tidak pada waktu yang diharamkan untuk shalat.
13.  Shalat Taubat
Abu Daud, An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Tirmidzi meriwauyatkan dari Abu Bakar r.a. bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tak seorangpun berbuat dosa, lalu ia bersuci dan bershalat, kemudian memohon ampunan Allah kecuali Allah pasti akan mengampuninya.”
Shalat sunnah taubah ini dilaksanakan alam dua rakaat sebagaimana diriwayatkan Ibn Hibban, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah. Syarat dan rukunnya sama dengan shakat sunnah pada umumnya.[23]
Shalat sunnah ini juga disunnahkan oleh madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, Dan Hanafi didasarkan pada hadis shahih riwayat Tirmidzi. Hadist ini bermakna apabila seorang muslim melakukan dosa atau kesalahan dan hendak bertaubat, maka disunnahkan baginya untuk melakukan shlat sunnah taubat serta melakukan taubat dari dosanya terhadap Allah.
Shalat hendaknya dilakukian sendirian karena tidak termasuk shalat sunnah yang dikerjakan secara berjamaah. Setelah shalat, disunnahkan membaca istighfar dan memperbanyak amalan kebajikan berdasar firman allah dalam QS. Thaha ayat 82.
14.  Shalat Sunnah Wudlu
Shalat sunnah wudlu adalah shalat sunnah yang dikerjakan setelah berwudhu. Pelaksanaannya sama seperti shalat sunnah lainnya dengan dua rakaat atau lebih dengan bacaan surah yang ia kehendaki. Apabila kita tidak melaksanakan shalat wudlu namun sesudahnya kita melaksanakan shalat sunnah lain, hal itu sudah mencakup shalat sunnah wudlu.
Adapun batasan lamanya pelaksanaan shalat itu ada yang mengatakan sebelum kering air wudlunya dan ada juga yang mengatakan bahwa sebelum batal wudlunya.
Dalam hal memperoleh pahalanya, menurut sebagian ulama mengatakan bahwa meskipun tidak diniati, tetap saja mendapat pahala. Sedangkan menurut Syeh Ibnu Hajar dan beberapa ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa pahala shalat aunnah wudlu hanya akan didapat apabila diniati mengerjakan shalat sunnah wudlu. Berdasarkan hadist Nabi “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya.” (Shahih Bukhari)[24]
15.  Shalat Sunnah Mutlaq
Shalat sunnah mutlaq adalah shalat sunnah yang tidak ditentukan waktunya dan tidak ada sebabnya. Jumlah rakaatnyapun tidak terbatas, berapa saja, dua rakaat atau lebih dan syarat serta rukunnya sama seperti shalat sunnah yang lainnya. namun perlu diingat, pelaksanaannya adalah selain di waktu yang diharamkan untuk shalat.
 Kita tahu bahwa shalat adalah dialog antara manusia dan Tuhannya, dan seringkali keinginan untuk berdoa dan berdialog kepada Tuhannya ini tidak pada waktu yang tepat. Maksudnya, tidak pada saat yang dinjurkannya, seperti waktu shalat dhuha atau shalat yang lainnya. Untuk itu, bagi muslim yang ingin melaksanakan shalat, hendaknya ia meniati shalatnya dengan shalat mutlaq.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah “Shalat itu adalah suatu perkara yang terbaik, banyak ataupun sedikit.” (Riwayat Ibnu Majah) [25]



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud shalat sunnah (juga bisa disebut shalat tathawwu’, shalat nafilah, atau nawafil) adalah shalat-shalat yang dikerjakan dalam rentang waktu sehari semalam sebagai pengiring shalat fardhu.
Anjuran shalat sunnah antara lain terdapat dalam hadist dari Rabi’an bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada saya dengan sabdanya: “Bermohonlah,” maka saya menjawab: Saya mohon kepadamu agar dapat menemanimu di syurga. Kemudian beliau bersabda: Adakah selain itu? Saya menjawab: Ya Cuma itu. Beliau bersabda: Maka bantulah saya agar berhasil permohonanmu itu dengan membanyakkan sujud (shalat sunnah). HR Muslim dari Rabi’ah bin Malik. Rasulullah juga menganjutrkan agar mengerjakan shalat sunnah dirumah saja. Karena sebaik-baik shalat adalah yang dikerjakan dirumah saja kecuali shalat fardlu.
Diantara shalat sunnah tersebut adalah: Shalat Sunnah Rawatib, Shalat Witir, Shalat Sunnah Tarawih, Shalat Sunnah Hari Raya (‘Idain), Shalat Sunnah Gerhana (Kusuf dan Khusuf), Shalat Sunnah Istisqa’, Shalat Tahajjud (Qiyamul Lail), Shalat Tahiyyat Al-Masjid, Shalat Dhuha, Shalat Istikharah, Shalat Tasbih, Shalat Hajat, Shalat Taubat, Shalat Sunnah Wudlu dan Shalat Sunnah Mutlaq.
Dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Abu Dawud disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyari’atkan agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat fardhu.










DAFTAR ISI

Abubakar, Imam Taqiyuddin bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar, 1995, Surabaya: Bina Iman

Al-Habsyi, Muhammad Baghir, Fiqih Praktis I, 2005, Bandung: Mizan Media Utama

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 2007, Depok: Gema Insani




Muhammad, Syaikh Al-‘Allamah  bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, 2015, Bandung: Hasyimi

Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu Fiqh, 1982, Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, 2005, Bandung: Sinar Baru Algesindo

Shaleh, Syaikh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi, Jilid I, 2011, Pustaka Ibnu Katsir




[1] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005) hlm. 144
[2] Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi, Jilid I, (Pustaka Ibnu Katsir, 2011) hlm. 75
[4] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005) hlm. 148.
[5] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI, Jakarta, 1982) hlm. 197
[6] Syaikh Al-‘Allamah Muhammad  bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015) hlm. 75
[7] Ibid., hlm. 75
[8] Muhammad Baghir Al-Habsyi, Fiqih Praktis I, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005) hlm. 171 & 172
[9] Syaikh Al-‘Allamah Muhammad  bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Ibid., hlm. 75
[10] Muhammad Baghir Al-Habsyi, Ibid., hlm. 172
[11] H. Sulaiman Rasjid, Ibid., hlm 134-135
[12] Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Iman, 1995) hlm. 344
[13] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ibid., hlm. 206-208
[14] H. Sulaiman Rasjid, Ibid., hlm 140
[15] H. Sulaiman Rasjid, Ibid., hlm. 148
[16] H. Sulaiman Rsjid, Ibid., hlm. 146
[17] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ibid., hlm 208
[18] Muhammad Baghir Al-Habsyi, Ibid., hlm. 174-175
[19] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2007) hlm. 208
[21] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ibid., hlm. 209
[22] Muhammad Baghir Al-Habsyi, Ibid., hlm 178
[23] Ibid., hlm. 178
[25] H. Sulaiman Rsjid, Ibid., hlm, 153

1 komentar:

  1. Thanks Infonya ya...

    Silahkan kunjungi juga blog saya gudangskripsi.net

    BalasHapus