SHALAT SUNNAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Abu Rokhmat, MA
Disusun oleh :
Ahmad Ali As’adi (1501046003)
Ainis Shofwah Mufarriha (1501046031)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam Islam, shalat menempati bagian terpenting
dalam kehidupan seorang muslim sebagai perjalanan spiritual menuju Allah SWT
yang dilakukan pada waktu dan syarat tertentu setiap harinya. Dalam shalat,
semua beban, kesibukan dan tuntutan duniawi dilepaskan sejenak. Konsentrasi
sepenuhnya untuk bermunajat, memohon petunjuk-Nya serta mengharapkan pertolongan
dan kekuatan dari-Nya. Shalat mencakup berbagai macam ibadah, seperti dzikir,
merendahkan diri dihadapan Allah, shalawat, dan lain-lain.
Bahwa Allah telah mensyari’atkan kepada
manusia untuk merendahkan diri kepada-Nya dengan shalat-shalat sunnah,
disamping shalat fardhu. Melaksanakan shalat sunnah termasuk salah satu cara
mendekatkan diri kepada Allah serta jihad dan menuntut ilmu. Nabi Muhammad-pun
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat sunnah.
Yang dimaksud shalat sunnah (juga bisa disebut
shalat tathawwu’, shalat nafilah, atau nawafil) adalah
shalat-shalat yang dikerjakan dalam rentang waktu sehari semalam sebagai
pengiring shalat fardhu. Dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Abu Dawud
disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyari’atkan agar menjadi penyempurna
bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat
fardhu.
Sebagaimana kita ketahui, shalat sunnah tidak
hanya terdiri dari beberapa saja, namun begitu banyak shalat sunnah yang bisa
kita lakukan menurut keyakinan dan madzhab yang kita anut. Karena banyaknya
perbedaan diantaranya, kami tertarik untyuk mengulas hal tersebut dalam makalah
ini yang nantinya akan kami jabarkan pada bab pembahasan. Mulai dari pengertian
dan dasar shalat sunnah, macam-macam shlata sunnah, serta tata cara
pelaksanaannya.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengertian shalat sunnah?
2. Apa
saja macam-macam shalat sunnah dan bagaimana tata cara pelaksanannya menurut
para ulama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Shalat Sunnah
Yang dimaksud shalat sunnah (juga bisa disebut
shalat tathawwu’, shalat nafilah, atau nawafil) adalah
shalat-shalat yang dikerjakan dalam rentang waktu sehari semalam sebagai
pengiring shalat fardhu. Dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Abu Dawud
disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyari’atkan agar menjadi penyempurna
bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat
fardhu.
Shalat sunnah
sendiri terdiri dari dua macam:
Pertama, shalat-shalat sunnah yang dibatasi dengan waktu-waktu
tertentu. Shalat-shalat sunnah ini biasa disebut dengan Shalat Sunnah
Muqayyadah. Seperti shalat sunnah tahajjud, witir, dll.
Kedua, shalat-shalat sunnah yang tidak dibatasi dengan
waktu-waktu tertentu. Shalat-shalat sunnah ini biasa disebut dengan Shalat
Sunnah Muthlaqah. Seperti shalat sunnah mutlaq.
Anjuran shalat sunnah antara lain terdapat
dalam hadist dari Rabi’an bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
memerintahkan kepada saya dengan sabdanya: “Bermohonlah,” maka saya
menjawab: Saya mohon kepadamu agar dapat menemanimu di syurga. Kemudian beliau
bersabda: Adakah selain itu? Saya menjawab: Ya Cuma itu. Beliau bersabda: Maka
bantulah saya agar berhasil permohonanmu itu dengan membanyakkan sujud (shalat
sunnah). HR Muslim dari Rabi’ah bin Malik. Rasulullah juga menganjutrkan
agar mengerjakan shalat sunnah dirumah saja. Karena sebaik-baik shalat adalah
yang dikerjakan dirumah saja kecuali shalat fardlu.
B.
Shalat Sunnah Dan Tata Cara Pelaksanaannya
Diantara shalat-shalat sunnah yang biasa
dikerjakan adalah:
1. Shalat Sunnah Rawatib
Shalat sunnah rawatib merupakan shalat sunnah
yang mengiringi lima shalat fardlu. Dikerjakan sebelum shalat fardlu (qabliyah)
atau sesudahnya (ba’diyyah). Para ulama umumnya membagi shalat sunnah
ini menjadi dua bagian. Yaitu shalat sunnah muakkadah dan ghairu muakkadah.
Disebut shalat sunnah muakkadah karena level kesunnahannya lebih tinggi
dibanding shalat sunnah ghairu muakkadah. Hal ini dikaitkan dengan praktek
Rasulullah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan itu, setidaknya beliau
lebih sering melakukannya daripada meninggalkannya. [1]
a. Shalat Sunnah Rawatib Muakkadah (Yang
dianjurkan)
Mengenai jumlah rakaat shalat rawatib yang muakkadah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa jumlah rakaat
shalat sunnah rawatib yang muakkadah adalah sepuluh rakaat, baik qabliyah
ataupun ba’diyyah. Jumlah ini disandarkan pada hadist shahih berikut ini: Dari
Ibnu Umar r.a. berkata, “Aku memelihara dari Nabi SAW sepuluh rakaat, yaitu
dua rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah maghrib di
umah beliau, dua rakaat sesudah isya di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum
subuh. Dua rakaat sebelum subuh itu termasuk eaktu-waktu dimana Rasulullah
tidak ditemui, namun Hafsah r.a. menyebutkan padaku bahwa bila muadzin
mengumandangkan adzan saat terbit fajar, beliau shalat dua rakaat.” (HR
Bukhari). Kemudian, Asy-Syafi’i juga menambahkan lagi empat rakaat sebelum
shalat ashar. [2]
Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan jumlahnya
adalah dua belas rakaat. Kedua belas rakaat itu sama dengan versi sepuluh
rakaat, kecuali qabliyah dzuhur dalam versi Hanafiyah bukan dua rakaat, tapi
empat rakaat yang dikerjakan langsung empat rakaat dengan satu salam tanpa
tahiyat awal. Hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Aisyah r.a. Dari Aisyah dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda “Orang
yang selalu menjaga dua belas rakaat makan Allah akan bangunkan rumah untuknya
di dalam syurga. Empat rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat
sesudah maghrib di rumah beliau, dua rakaat sesudah isya di rumah beliau, dan
dua rakaat sebelum subuh.” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi) [3]
b. Shalat Sunnah Rawatib Ghairu Muakkadah (Yang
kurang dianjurkan)
Shalat sunnah ghairu muakkad adalah shalat
yang biasa didirikan Nabi Muhammad SAW tetapi beliau tidak menganjurkan
sebagaimana pada sunah muakkad. Menurut pendapat yang paling banyak, shalat
ghairu muakkadah terdiri dari:
1. Dua rakaat sebelum shalat dhuhur dan dua
rakaat sesudahnya. Mengapa demikian, karena ini beriringan dengan shlat sunnah
muakkadnya. Jadi, shalat sunnah dhuhur yaitu empat rakaat sebelumnya dan empat
rakaat sesudahnya: dua rakaat termasuk muakkad, dan dua rakaat lagi ghairu muakkad.
2. Empat rakaat sebelum ashar
3. Dua rakaat sebelum maghrib
4. Dua rakaat sebelum isya’
2. Shalat Witir
Witr (atau witir) menurut bahasa ialah bilangan gasal atau
ganjil. Jadi, shalat witir adalah shalat ganjil (satu rakaat, tiga rakaat, lima
rakaat, tujuh rakaat, sembilan rakaat, atau sebelas rakaat) sekurang-kurangnya
satu rakaat dan sebanyak-banyaknya sebelas rakaat. Boleh memberi salam tiap dua
rakaat, boleh dilakukan satu atau tiga rakaat, dan boleh pula mengerjakannya
sekaligus dengan satu kali tasyahud dan salam pada rakaat terakhir.[4]
Sedangkan waktu untuk mengerjakannya adalah
antara setelah shalat isya’ sampai dengan terbit fajar berdasarkan sabda
Rasululah : “Shalat witir adalah antara (setelah) shalat isya’ sampai dengan
terbit fajar.” HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dari
Kharijah bin Judzafah.
Mengenai jumlah rakaatnya, At-Tirmidzi
menyebutkan bahwa: “ Diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau shalat witir dengan
tigabelas, sebelas, sembilan, tujuh, lima, tiga dan satu rakaat.” Ishaq bin
Ibrahim menerangkan bahwa yang dimaksud dengan tiga belas rakaat adalah Nabi
shalat lail sebanyak tiga belas rakaat termasuk witirnya.[5]
Jumlah minimal rakaat yang sempurna menurut
Imam Syafi’i dan Imam Hambali adalah tiga rakaat. Imam Hanafi berpendapat bahwa
shalat witir terdiri dari tiga rakaat dengan tiga salam, tidak boleh lebih dan
tidak boleh kurang. Sedangkan menurut Imam Maliki, shalat witir adalah satu
rakaat, yang diawali shalat genap yang terpisah. Tidak ada batasan bagi shalat
genap itu, tetapi minimal adalah dua rakaat.[6]
Apabila seseorang telah shalat witir, lalu ia
shalat tahajjud, maka ia tidak perlu mengulangi shalat wiridnya. Demikian
pendapat Imam Syafi’i yang paling sahih dan pendapat Imam Hanafi. Sedangkan
Imam Hambali mengatakan bahwa, hendaknya hendaknya witirnya digenapkan terlebih
dahulu, lalu bertahajjud, kemudian shalat witir satu rakaat supaya bilangan
rakaatnya menjadi ganjil.
Sedangkan surah yang dibaca dalam shalat witir
(setelah surah Al-Fatihah), menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’i adalah surah
al-Ikhlas, al-Mu’amridzatain (al-Falaq dan an-Nas). Sedangkan menurut Imam
Hanafi dan Hambali surat al-Ikhlas saja.
Mengenai pembacaan doa qunut dalam shalat
witir, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut Imam Syafi’i dan
Maliki, membaca doa qunut pada shalat witir hanya setelah pertengahan bulan
Ramadhan sampai habis bulan Ramadhan tersebut. Imam Hanafi dan Hambali
berpendapat bahwa membaca doa qunut setelah ruku’ pada rakaat terakhir setiap
shalat witir.[7]
3. Shalat Sunnah Tarawih
Tarawih (kata tunggalnya tarawihah) menurut bahasa
berarti istirahat. Di sini berarti istirahat setiap empat rakaat shalat sunnah
tarawih di bulan Ramadhan disebabkan panjangnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca
pada saat itu. Awalnya, istilah yang digunakan dalam hadist-hadist adalah qiyam
Ramadhan, sedangkan kata tarawih baru digunakan sejak masa Ummar bin
Khattab menjabat sebagai Khalifah.
Mengenai jumlah rakaat dalam shalat tarawih,
sebagian ulama menganjurkan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat ditambah
tiga rakaat witir, seperti kebiasaan Nabi Muhammad. Telah dirawikan oleh
Bukhari Muslim dari Aisyah r.a, bahwa Nabi Muhammad tidak pernah shalat sunnah
malam hari melebihi sebelas rakaat, baik
di bulan Ramadhan ataupun bulan-bulan lainnya sepanjang tahun.
Telah diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa pada
masa Umar, Utsman, dan Ali, kaum Muslim melaksanakan shalat tarawih sebanyak
duapuluh rakaat dengan sepuluh salam ditambah shalat witir tiga rakaat. Dan
jumlah itulah yang disetujui oleh mayoritas para ahli Fiqih dari kalangan
madzhab Hanafi, Hambali, Syafi’i, Daud, Ats-Tsauri, dan lain-lain. Sedangkan
menurut Imam Maliki, shalat tarawih terdiri dari tiga puluh rakaat.[8]
Sedangkan pelaksanannya, shalat sunnah tarawih
dilaksanakan setelah mengerjakan shalat isya’, boleh dilaksanakan
berjamaah maupun sendiri-sendiri, di
masjid ataupun dirumah. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tarawih berjamaah di
masjid lebih afdhal, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa shalat
sendiri lebih afdhal mengingat Nabi Muhammad melaksanakan shalat sunnah tarawih
dirumah pada malam ketiga atau keempat dan seterusnya.
Menurut hadist dari Aisyah r.a. yang
menerangkan bahwa: “Bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam shalat tarawih di
masjid, lalu diikuti oleh orang banyak. Kemudian beliau melakukan pula shalat
itu di malam selanjutnya dan semakin bertambah orang-ornag yang mengikutinya.
Kemudian setelah mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, maka Rasulullah sengaja tidak
datang kepada mereka. Pada pagi harinya beliau bersabda: Saya lihat apa yang
kamu lakukan (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangi saya untuk datang
kepadamu, kecuali karena saya takut akan difardlukan shalat tarawih ini
kepadamu.” HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah.
Menurut pendapat dari Imam Syafi’i, Imam
Hanafi, Imam Hambali, serta jumhur ‘ulama, melaksanakan shalat sunnah tarawih
secara berjamaah di masjid lebih utama.[9] Mengingat
apabila dilaksanakan di rumah, seandainya timbul rasa malas dikhawatirkan
masjid menjadi kosong. Adapun ulama lain yang lebih mengutamakan berjamaah di
masjid adalah karena didasarkan tindakan yang dilakukan oleh Ummar bin Khattab
yang pertama kali mengumpulkan orang-orang di masjid dengan mengerjakan shalat
tarawih dibelakang seorang imam. Hal ini kemudian diikuti oleh para khalifah
sesudahnya.[10]
4. Shalat Sunnah Hari Raya (‘Idain)
Yang termasuk shalat ‘idain adalah shalat hari
raya idul fitri dan shalat sunnah hari raya idul adha. Shalat sunnah idul fitri
dikerjakan setiap tanggal 1 Syawal, sedangkan shalat sunnah idul adha
dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijah. Hukum shalat sunnah hari raya ini
adalah sunat muakkad (sunat yang lebih penting) yakni yang dianjurkan
dengan sangat karena Nabi Muhammad selalu melaksanakannya secara rutin dan
memerintahkan kaumnya baik laki-laki maupun wanita untuk menghadirinya.
Mula-mula Rasulullah SAW ahalat hari raya pada
tahun kedua (tahun Hijriah) dan tetap melaksanakan shalat hari raya selama
beliau hidup. Waktu pelaksanaannya yaitu semenjak terbitnya matahari hingga
dimulainya waktu shalat dzuhur. Disunnahkan mengundurkan sedikit waktu shalat
Idul Fitri untuk lebih memberi kesempatan membagi zakar fitrah, dan
menyegerakan shalat idul adha agar yang ber-imsak atau berpuasa sebentar dipagi
itu lebih cepat berbuka, serta memberikan kesempatan untuk pelaksanaan
penyembelihan hewan kurban.
Untuk waktu pekasanaannya, dalam sebuah
riwayat, disebutkan bahwa: “ Nabi SAW shalat bersama-sama kami pada hari
raya idul fitri ketika matahari setinggi dua lembing dan pada hari idul adha
ketika matahari setinggi satu lembing.” HR Ahmad bin Hasan Banna dari
Jundub. Rasululah juga tidak melaksanakan shalat sebelum dan sesudah shalat
sunnah hari raya.
Mengenai tempat pelaksanaannya, menurut Imam
Syafi’i, shalat sunnah hari raya lebih utama dilakukan di masjid apabila masjid
dapat menampung seluruh jamaah (seperti Masjidil Haram di Makkah). Hal ini
dapat dijadikan patokan apabila tidak hujan ataupun jarak tanah lapang terlalu
jauh. Menurut Imam Maliki, shalat sunnah ‘Idain lebih utama dikerjakan di tanah
lapang selagi tidak hujan dan jaraknya memungkinkan. Diterangkan oleh Syyiq
Sabiq bahwa khusus untuk kota Makkah, mengerjakannya di Masjidil Haram adalah
lebih utama.
Semua orang dianjurkan untuk berkumpul dan
shalat pada hari raya. Baik orang yang mukim ataupun yang dalam perjalanan,
baik laki-laki ataupun perempuan, besar atau kecil, hingga perempuan yang
berhalangan karena haid pun disuruh pergi untuk berkumpul dan mendengarkan
khutbah tetapi mereka tidak boleh shalat. Mereka berjamaah bersama dan boleh
pula dilaksanakan sendirian.
Pada shalat sunnah hari raya, tidak di
syari’atkan untuk adzan dan tidak pula iqamah. Rasulullah SAW menyuruh muadzin
untuk menyerukan “Asshalaata jaami’ah” (marilah shalat berjamaah). Kepada
khatib yang bertugas, dianjurkan untuk memperbanyak takbir disela-sela
khutbahnya.[11]
Apabila hari raya tersebut jatuh pada hari
Jum’at, gugurlah kewajiban untuk shalat Jum’at sesuai hadist dari Abu Hurairah.
Namun dalam kitab “Fiqhus Sunnah” diterangkan bahwa bagi imam disunatkan tetap
melaksanakan shalat Jum’at agar dapat diikuti oleh orang yang pada pagi harinya
tidak mengikuti shalat sunnah hari raya.
Rukun dan syarat sah shalatnya sama dengan
shalat pada umumnya. Pada rakaat pertama, setelah takbiratul ihram, dan membaca
doa iftitah, disunatkan takbir tujuh kali, kemudian AL-Fatihah dan membaca surah Qaaf. Pada rakaat
yang kedua, setelah intiqal, disunatkan takbir lima kali, kemudian AL-Fatihah
dan membaca surah Iqtarabat / Al-Qamar. Begitulah menurut riwayat Imam
Muslim.[12]
Dalam hadist dari ‘Amr bin Auf Al Muzani:
“Bahwa Nabi SAW bertakbir pada shalat ‘idain: pada rakaat pertama tujuh kali
sebelum membaca surah Al-Fatihah, dan pada rakaat yang kedua lima kali sebelum
membaca surah Al-Fatihah.” HR Tirmidzi dari ‘Amr bin Auf Al Muzani. Dan tak lupa
melakukan khutbah setelah selesai shalat. Apabila imam berkhutbah sebelum
shalat dimulai, maka dianggap tidak sah menurut qaul yang benar yang
dinash oleh Imam Syafi’i.
Dalam hari raya, disunatkan agar
mengumandangkan takbir. Adapun waktunya menurut Imam Malik, Imam Ahmad, Abu
Tsaur, sahabat, tabi’in, takbir hari raya idul fitri dilaksanakan mulai dari
keluar untuk shalat id sampai dimulainya khutbah. Sedangkan menurut Imam
Syafi’i, muali dari semenjak terbenam matahari pada malam hari raya sampai akan
dimulai shalat. Sedangkan waktu takbir pada hari raya idul fitri menurut Imam
Ahmad, Abu Tsaur, dan Sufyan Ats Tsauri, mulai dari shalat subuh pada hari
Arafah hingga shalat Ashar pada hari terakhir tasyriq. Menurut Imam Malik serta
Imam Syafi’i, mulai dari shalat dhuhur pada hari raya idul adha sampai dengan
shalat subuh pada hari terakhir tasyriq.[13]
5. Shalat Sunnah Gerhana (Kusuf dan Khusuf)
Shalat gerhana dua rakaat pada saat terjadinya
gerhana bulan (shalat sunnah khusuf) ataupun gerhana matahari (shalat sunnah
kusuf) adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Hal ini bukanlah sebagai
ritual pemujaan terhadap bulan ataupun matahari. Melainkan bersujud kepada
Allah yang telah menciptakan jagat raya.
Sewaktu Ibrahim putra Rasulullah dari Mariah
Alqibtiyah meninggal, terjadi gerhana matahari. Maka orang-orang berkata,
“Gerhana matahari terjadi karena matinya Ibrahim.” Rasulullah SAW menjawab
perkataan yang demikian, agar jangan sampai mereka salah paham. Bahwa
sesungguhnya matahari dan bulan, keduanya menjadi tanda kebesaran dari
dalil-dalil Allah dan kekuasaan-Nya. Maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah
hingga gerhana itu lenyap.[14]
Yang lebih afdhal adalah melaksanakannya
dengan berjamaah, walupun boleh juga secara sendirian. Pada waktu shalat akan
dimulai, imam menyerukan “Asshaalatu jaami’ah”sebagai ganti iqamat.
Menurut Jumhur ‘Ulama, pada masing-masing rakaat dilakukan ruku’ dua kali.
Jelasnya, setelah dibaca surah Al-Fatihah dan surah atau ayat Al-Qur’an,
kemudian ruku’. Kemudian berdiri lagi membaca surah Al-Fatihah dan surat atau
ayat Al-Qur’an kemudian ruku’ lagi. Kemudian i’tidal lalu sujud sebagaimana
dalam shalat yang lain. Dan dilakukan seperti itu pada rakaat kedua.
Jadi, shalat gerhana adalah dua rakaat, empat
kali ruku’, empat kali berdiri membaca Al-Fatihah, dan empat kali sujud.
Setelah itu, imam berkhutbah agar mengingatkan manusia atas kekuasaan Allah
yang telah menciptakan seluruh alam juga agar memperbanyak doa, dzikir,
istighfar, sedekah, dan amal-amal yang lain.
6. Shalat Sunnah Istisqa’
Shalat sunnah istisqa’ adalah shalat dua rakaat yang
dilakukan karena terjadi kemarau panjang, memohon kepada Allah agar segera
diturunkan hujan. Dalil AL-Qur’an yang dijadikan rujukan adalah firman Allah
dalam surah Nuh ayat 10-12.
Apabila datang musim kemarau yang berkepanjangan,
disunnahkan memperbanyak doa dan istighfar. Salah satunya adalah melalui
shalat. Menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali, disunahkan dengan shalat dan
doa. Namun menurut Imam Hanafi, disunahkan berdoa tanpa shalat. Di kalangan
Syafi’iyah, ada juga yang mengatakan bahwa shalat istisqa’ hukumnya adalah
fardhu kifayah.
Mengambil pendapat yang lebih banyak, makan shalat
istisqa’ pun dilaksanakan. Hal ini juga pernah Nabi laksanakan sewaktu
orang-orang mengadu kepada Rasulullah tentang kemarau, kemudian beliau
memrintahkan agar menyiapkan mimbar dan tanah lapang. Beliau keluar ketika
matahari mulai nampak, beliau duduk diatas mimbar kemudian bertakbir dan memuji
Allah.
Shalat istisqa’ dilaksanakan kapanpun selain waktu yang
dilarang mengerjakan shalat. Namun, shalat istisqa’ disunnahkan dilaksanakan
pada awal siang di waktu pelaksanaan shalat id. Shalat istisqa’ juga sunnah
dilaksanakan di tanah lapang agar dapat menampung masa yang banyak.
Pelaksanaan shalat istisqa’, menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah adalah seperti shalat hari raya yaitu tujuh kali takbir pada rakaat
pertaman dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Sedangkan menurut Malikiyah,
takbir dalam shalat sunnah istisqa’ adalah sebagaimana shalat sunnah pada
umumnya, tidak ada tambahan takbir seperti Syafi’iyah dan Hanabilah. Shalat
istisqa’ sunah dikerjakan dengan jahr atau mengeraskan suara bacaan.
Sedangkan pelaksanaan khutbah dilaksanakan setelah
pelaksanaan shalat istisqa’. Namun Syafi’iyah juga membolehkan khutbah sebelum
shalat istisqa’. Khutbah dalam shalat istisqa’ adalah dua kali khutbah.
Demikian menurut Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan
Hanabilah, khutbah dalam shalat istisqa’ hanya sekali.
7. Shalat Tahajjud (Qiyamul Lail)
Shalat tahajjud sering juga disebut shalat
malam. Mengapa demikian, karena waktu pelaksanaannya adalah pada malam hari
dimana kebanyakan orang sedang terlelap tidur. Sepanjang hidup Rasulullah SAW,
beliau tidak pernah meninggalkan shalat tahajjudnya. Bahkan ketika beliau
ketiduran atau sedang sakit, beliau mengganti tahajjudnya pada siang hari. “Jika
beliau ketiduran atau sedang sakit sehingga tidak dapat melakukannya (shalat
malam) di malam hari, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas
rakaat.”
Kebiasaan Nabi adalah sering melaksanakan
shalat sebelas rakaat shalat malam. Bahkan mewajibkan bagi diri beliau sendiri.
Apabila beliau berhalangan, diganti pada siang hari dengan menambah satu rakaat
agar menggenapkannya, karena siang bukanlah letak witir. Atas dasar inilah,
banyak ulama yang mewajibkan shalat tahajjud. Antara lain Abdullah bin Al-Abbas
r.a., di lingkungan madzhab Asy-Syafi’iah juga ikut sepakat dengan pendapat
Ibnu Abbas ini dan tidak sedikit dari ulama kalangan Malikiyah yang berpendapat
sama.
Ketika Nabi ditanya mengenai mengenai shalat
yang lebih utama selain shalat fardlu, beliau menyebutkan bahwa yang lebih
utama adalah shalat tahajjud.
Dari Abu Hurairah r.a., “Tatkala Nabi SAW
ditanya orang, ‘Apakah shalat yang lebih utama dari shalat fardlu yang lima”’
Jawab beliau, ‘Shalat pada waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim) kemudian
dipertegas Allah dalam surah Al-Isra ayat 79 yang artinya “Dan pada sebagian
malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu;
mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” [15]
Mengenai pelaksanaaan tahajjud, pendapat yang
memakruhkan shalat tahajjud berjamaah adalah dari kalangan Hanafiyah san
Syafi’iyah. Menurut mereka, disunnahkan melaksanakan sendiri-sendiri karena
Rasul pernah berjamaah dan pernah mengerjakannya sendiri. Mereka memkruhkan
karena menurut mereka, Rasulullah lebih sering shalat tahajjud sendirian
daripada berjamaah. Sedangkan Ulama dari
Hanabilah membolehkan berjamaah dan membolehkan juga shalat sendiri-sendiri.
Menurut Malikiyah, bila jamaah shalat tahajjud tidak terlalu banyak dan bukan
ditempat masyhur, hukumnya boleh.
Untuk waktu melaksanakannya adalah sebagaimana
melaksanakan shalat witir yaitu setelah isya sampai terbit fajar. Dianjurkan
untuk tidur terlebih dahulu. Sedangkan waktu yang utama adalah pada sepertiga
malam yang terakhir, mengingat sabda Rasulullah:
“Tuhan Azza wa Jalla turun ke langit dunia
setiap malam ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu Allah berfirman:
Barang siapa yang berdoa kepada-Ku pasti ku kabulkan; barang siapa yang memohon kepada-Ku pasti Ku-berikan; barang siapa yang
mohon ampun kepada-Ku pasti Ku-ampuni.” HR Al-Jama’ah dari Abu Hurairah.
Jumhur ulama, seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i,
Ahmad, Abu Yusuf, Ibnul Mundzir, berpendapat bahwa shalat tahajjud itu dua
rakaat dua rakaat yaitu harus salam pada setiap dua rakaat.
8. Shalat Tahiyyat Al-Masjid
Shalat tahiyatul masjid disyari’atkan oleh
pada setiap saat, ketika seseorang masuk masjid dan bermaksud duduk didalamnya.
Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Mayoritas ulama
mengatakan bahwa shalat ini sunnah, namun ada juga yang mengatakan bahwa ini
wajib. Menurut ulama Hanafiyah, shalat ini dilaksanakan selain pada waktu yang
dimakruhkan untuk shalat.
Shalat tahiyatul masjid adalah shalat sunah
dua rakaat sebelum masuk masjid bagi setiap orang. Nabi bersabda “Apabila
seorang dari kamu masuk masjid, hendaklah ia shalat dua rakaat sebelum duduk.” [16]
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa
ber-tahiyatul masjid hanya berlaku sepanjang mereka yang masuk masjid belum
duduk. Apabila mereka sudah duduk, maka gugurlah sunnah tersebut. Namun apabila
ia masuk masjid dan lupa atau belum mengerjakan shalat tahiyatul masjid, maka
ia tetap disyari’atkan melaksanakannya, karena orang yang di beri uzur (lupa
atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan asalkan jarak waktu duduk dengan
ingatnya ia tidak lama.
Demikian pula sunnah ini tidak berlaku di
Masjidil Haram, karena yang disunnahkan adalah berthawaf disekitar Ka’bah,
bukan bertahiyatul masjid. Selain itu, apabila seseorang memasuki masjid
bertepatan dengan dimulainya shalat fardhu berjamaah, maka ia harus segera
mengikuti jamaah. Dikecualikan pula bagi khotib, imam dan pengurus masjid untuk
tidak melakukannya. [17]
9. Shalat Dhuha
Shalat sunnah dhuha adalah shalat yang
dikerjakan pada waktu dhuha yang termasuk sunnah muakkadah.
Dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Kekasihku
(Rasulullah SAW) telah berpesan kepadaku tiga macam pesan: 1. Berpuasa tiga
hari setiap bulan. 2. Shalat dhuha dua rakaat dan 3. Shalat witir sebelum
tidur.” (HR Bukhari Muslim)
Waktu pelaksanaannya yaitu ketika matahari
setinggi tombak (180), tapi disunnahkan ketika matahari sudah agak
tinggi atau sudah terasa panasnya dan berakhir pada saat matahari tepat diatas
langit atau sudah mulai masuknya shalat dhuhur. Rasulullah bersabda “Shalat
awwabin (dluha), yaitu apabila anak-anak unta mulai kepanasan.” (HR Ahmad
dan Muslim dari Zaid bin Arqam)
Shalat dluha dilakukan dalam dua rakaat satu
kali salam. Mengenai jumlah total rakaatnya, ada perbedaan dikalangan ulama
ulama. Pertama, pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, bahwa
jumlah maksimalnya adalah delapan rakaat yang didasarkan hadis Umi Hani’ r.a.
bahwasannya beliau memasuki rumahnya ketika fathu Makkah dan beliau shalat
delapan rakaat. Kedua, menurut pendapat madzhab Hanafi rakaat maksimal
adalah duabelas rakaat yang didasarkan pada hadis dhaif “Barangsiapa yang
shalat dhuha duabelas rakaat, Allah buatkan baginya satu istana di syurga.” Riwayat
Tirmidzi, Ibnu Majah dan AL-Mundziri. Ketiga, tidak ada batasa maksimal
menurut As-Suyuthi dalam Al-Hawi.
10. Shalat Istikharah
Yang dimaksud dengan istikharah adalah memohon
dari Allah SWT agar dipilihkan sesuatu yang terbaik bagi seseorang, diantara
berbagai pilihan yang menimbulkan keraguan, apakah sebaiknya dilakukan atau
tidak. Misalnya ingin menikahi seseorang, ingin membuka perusahaan baru, atau
ingin membeli rumah, dan sebagainya.
Untuk menghilangkan keraguan seperti itu, lalu
mengambil suatu keputusan yang mudah-mudahan paling tepat, dianjurkan shalat
dua rakaat, sebaiknya dimalam hari agar lebih tenang dan lebih konsentrasi,
tapi boleh juga disiang hari dan boelh membaca surah apapun setelah surah
Al-Fatihah.
Setelah melaksanakan shalat sunnah dua rakaat,
hendaknya mulai berdoa dengan mengucapkan pujian-pujian kepada Allah dan
bershalawat untuk Nabi Muhammad kemudian berdoa agar dipilihkan baginya
seseuatu yang terbaik bagi kehidupan agama dan dunianya dimasa yang akan datang.[18]
Adapun ketika setelah shalat sunnah dua rakaat
tersebut belum dimantapkan hatinya atas keputusan finalnya, maka hendaknya
dilakukan hingga tujuh kali sesuai yang diriwayatkan Ibnu Sunni.[19]
Adapun doa yang diajarkan Nabi kepada para
sahabat ialah sebagai berikut:
“Ya Allah aku memohon dari-Mu pilihan yang
baik, dengan ilmu-Mu, dan memohon dari-Mu kemapuan, dengan kuasa-Mu. Dan aku
memohon dari karunia-Mu yang agung. Karena Engakau-lah yang kuasa. Engkau
mengetahui, sedangkab aku tidak mengetahui. Dan Engkau-lah yang Maha Mengetahui
apa saja yang tersembunyi.”
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata:
setelah shalat istikharah dan berdoa lakukanlah yang sesuai dan mantap dengan
hatimu, maka disitulah kebaikan dibuka. Namun, sudah menjadi kebiasaan dan
tradisi di Indonesia bahwa penentuan keputusan akhir dari shalat istikharah
adalah melalui mimpi. Pandangan dan kebiasaan ini kurang tepat, mengingat mimpi
itu datangnya dari tiga kemungkinan: 1. Dari Allah. 2. Dari setan. Dan yang
terakhir 3. Dari diri sendiri.
Berdasarkan terangan diatas, ulama salaf juga
berpendapat bahwa keputusan final setelah shalat istikharah hendaknya dilakukan
sesuai dengan kelapangan hati dan pandangan serta analisis yang tulus. Dua hal
ini hanya dapat dilakukan pada saat sadar (bangun) bukan saat tidur.[20]
11. Shalat Tasbih
Mayoritas ulama madzhab Syafi’i menyatakan
bahwa shalat tasbih ini sunat dikerjakan. Tidak ada ketentuan khusus kapan dan
sebab dilaksanakan, asalkan tidak dikerjakan pada waktu yang dilarang shalat.
Shakat tasbih bopelk dilaksanakan kapan saja,
karena tidak ada waktu yang mengatur untuk shalat tasbih. Shalat tasbih ini
bisa dilaksanakan sekali dalam sehari semalam. Jika tidak mampu, maka usahakan
sekali dalam seminggu, atau pas hari jum’at, atau sebulan sekali, atau sekali
seumur hidup.
Shalat tasbih jumlahnya empat rakaat, tiap
rakaat membaca Al-Fatihah dan surah lain
dengan satu atau dua salam. Dalam shalat itu membaca tasbih sebanyak tigaratus
kali. Tigaratus dibagi empat samadengan tujuh puluh lima kali dalam satu
rakaat. Jika dirincikan: setelah iftitah sebanyak lima belas kali. Kemudian
setelah membaca surah, dalam ruku’, bangkit dari ruku’, dalam dua sujud, dan
dalam duduk antara dua sujud masing-masing sepuluh kali.
Bacaan tasbihnya dibaca setelah bacaan sujud
dan ruku’. Tata cara shalat tasbih ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Imam At-Tirmidzi dalam kitabnya dari Abdullah Ibnul Mubarrok, salah
seorang murid Abu Hanifah. Riwayat hadis ini yang dipilih dari dua riwayat yang
ada. Bacaan tasbihnya tidak dihitung dengan jari, dan bagusnya dihitung dengan hati.[21]
12. Shalat Hajat
Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan oleh seorang
muslim saat memiliki hajat tertentu dan ingin dikabulkan. Bahwa setiap
keinginan yang ada pada diri manusia, hendaknya melaksanakan shalat Shalat
hajat juga dicontohkan Rasulullah SAW sehingga dasar sunnah dan penganjurannya
pun memiliki kekuatan yang disepakati oleh para ulama.
Telah diriwayatkan oleh Ahmad , dengan sanad shahih bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Barangsiapa berwudhu seraya
menyempurnakan wudhunya itu, lalu shalat dua rakaat yang juga dilaksanaknnya
dengan sempurna (yakni dengan Khusyu’ dan memenuhi rukun), niscaya Allah akan
memenuhi permintaannya secara segera ataupun diwaktu lainnya.”
Keempat ulama mensyari’atkan dan mensunnahkan
pelaksanaaan shalat hajat.
-
Madzhab Maliki dalam kitab Hasyiah
-
Madzhab Hanafi dalam kitab Al-Bahr ar-Ra’iq
-
Madzhab Syafi’i dalam kitab Al-Majmuk syarh al-Muhadzab
-
Madzab hambali dalam Kasyfaul Qina [22]
Syarat pelaksanaannya adalah sam seperti
shalat sunnah pada umumnya yaitu suci dari hadas dan memenuhi rukun shalat.
Setelah melaksanakan shalat sunnah dua rakaat ini, mintalah kepada Allah apa
yang menjadi hajat atau keinginan yang dikehendaki baik yang berkaitan dengan
duniawi atau ukhrawi.
Pelaksanaannya juga tidak terikat waktu, jadi
dapat dilaksanakan kapan saja asalkan tidak pada waktu yang diharamkan untuk
shalat.
13. Shalat Taubat
Abu Daud, An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Tirmidzi
meriwauyatkan dari Abu Bakar r.a. bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Tak seorangpun berbuat dosa, lalu ia bersuci dan bershalat,
kemudian memohon ampunan Allah kecuali Allah pasti akan mengampuninya.”
Shalat sunnah taubah ini dilaksanakan alam dua
rakaat sebagaimana diriwayatkan Ibn Hibban, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah.
Syarat dan rukunnya sama dengan shakat sunnah pada umumnya.[23]
Shalat sunnah ini juga disunnahkan oleh
madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, Dan Hanafi didasarkan pada hadis shahih
riwayat Tirmidzi. Hadist ini bermakna apabila seorang muslim melakukan dosa
atau kesalahan dan hendak bertaubat, maka disunnahkan baginya untuk melakukan
shlat sunnah taubat serta melakukan taubat dari dosanya terhadap Allah.
Shalat hendaknya dilakukian sendirian karena
tidak termasuk shalat sunnah yang dikerjakan secara berjamaah. Setelah shalat,
disunnahkan membaca istighfar dan memperbanyak amalan kebajikan berdasar firman
allah dalam QS. Thaha ayat 82.
14. Shalat Sunnah Wudlu
Shalat sunnah wudlu adalah shalat sunnah yang
dikerjakan setelah berwudhu. Pelaksanaannya sama seperti shalat sunnah lainnya
dengan dua rakaat atau lebih dengan bacaan surah yang ia kehendaki. Apabila
kita tidak melaksanakan shalat wudlu namun sesudahnya kita melaksanakan shalat
sunnah lain, hal itu sudah mencakup shalat sunnah wudlu.
Adapun batasan lamanya pelaksanaan shalat itu
ada yang mengatakan sebelum kering air wudlunya dan ada juga yang mengatakan
bahwa sebelum batal wudlunya.
Dalam hal memperoleh pahalanya, menurut
sebagian ulama mengatakan bahwa meskipun tidak diniati, tetap saja mendapat
pahala. Sedangkan menurut Syeh Ibnu Hajar dan beberapa ulama madzhab Syafi’i
mengatakan bahwa pahala shalat aunnah wudlu hanya akan didapat apabila diniati
mengerjakan shalat sunnah wudlu. Berdasarkan hadist Nabi “Sesungguhnya
setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya.” (Shahih Bukhari)[24]
15. Shalat Sunnah Mutlaq
Shalat sunnah mutlaq adalah shalat sunnah yang
tidak ditentukan waktunya dan tidak ada sebabnya. Jumlah rakaatnyapun tidak
terbatas, berapa saja, dua rakaat atau lebih dan syarat serta rukunnya sama
seperti shalat sunnah yang lainnya. namun perlu diingat, pelaksanaannya adalah
selain di waktu yang diharamkan untuk shalat.
Kita
tahu bahwa shalat adalah dialog antara manusia dan Tuhannya, dan seringkali
keinginan untuk berdoa dan berdialog kepada Tuhannya ini tidak pada waktu yang
tepat. Maksudnya, tidak pada saat yang dinjurkannya, seperti waktu shalat dhuha
atau shalat yang lainnya. Untuk itu, bagi muslim yang ingin melaksanakan
shalat, hendaknya ia meniati shalatnya dengan shalat mutlaq.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah “Shalat
itu adalah suatu perkara yang terbaik, banyak ataupun sedikit.” (Riwayat
Ibnu Majah) [25]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud shalat sunnah (juga bisa disebut
shalat tathawwu’, shalat nafilah, atau nawafil) adalah
shalat-shalat yang dikerjakan dalam rentang waktu sehari semalam sebagai
pengiring shalat fardhu.
Anjuran shalat sunnah antara lain terdapat
dalam hadist dari Rabi’an bin Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
memerintahkan kepada saya dengan sabdanya: “Bermohonlah,” maka saya
menjawab: Saya mohon kepadamu agar dapat menemanimu di syurga. Kemudian beliau
bersabda: Adakah selain itu? Saya menjawab: Ya Cuma itu. Beliau bersabda: Maka
bantulah saya agar berhasil permohonanmu itu dengan membanyakkan sujud (shalat
sunnah). HR Muslim dari Rabi’ah bin Malik. Rasulullah juga menganjutrkan
agar mengerjakan shalat sunnah dirumah saja. Karena sebaik-baik shalat adalah
yang dikerjakan dirumah saja kecuali shalat fardlu.
Diantara shalat sunnah tersebut adalah: Shalat
Sunnah Rawatib, Shalat Witir, Shalat Sunnah Tarawih, Shalat Sunnah Hari Raya (‘Idain),
Shalat Sunnah Gerhana (Kusuf dan Khusuf), Shalat Sunnah Istisqa’, Shalat
Tahajjud (Qiyamul Lail), Shalat Tahiyyat Al-Masjid, Shalat Dhuha,
Shalat Istikharah, Shalat Tasbih, Shalat Hajat, Shalat Taubat, Shalat Sunnah
Wudlu dan Shalat Sunnah Mutlaq.
Dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Abu
Dawud disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyari’atkan agar menjadi
penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan
shalat fardhu.
DAFTAR ISI
Abubakar, Imam Taqiyuddin bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar,
1995, Surabaya: Bina Iman
Al-Habsyi, Muhammad Baghir, Fiqih Praktis I, 2005, Bandung: Mizan
Media Utama
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 2007, Depok: Gema
Insani
Muhammad, Syaikh Al-‘Allamah bin
Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, 2015, Bandung: Hasyimi
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu Fiqh, 1982,
Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, 2005, Bandung: Sinar Baru Algesindo
Shaleh, Syaikh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi, Jilid I, 2011, Pustaka
Ibnu Katsir
[2] Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi, Jilid I, (Pustaka
Ibnu Katsir, 2011) hlm. 75
[5] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI, Jakarta, 1982) hlm. 197
[6] Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin
Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2015) hlm.
75
[12] Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar,
(Surabaya: Bina Iman, 1995) hlm. 344
[24] Http://www.fiqihkontemporer.com/2012/12/tata-cara-dan-ketentuan-ketentuan-hukum.html?m=1 diakses pada 22 April 2016
Thanks Infonya ya...
BalasHapusSilahkan kunjungi juga blog saya gudangskripsi.net